Parlemen Turki telah menyetujui dua amandemen konstitusi yang akan membolehkan mahasiswi menggunakan hak nya berjilbab. Tapi kubu sekuler meradang
Hidayatullah.com--Seiring persetujuan parlemen mencabut Undang-undang larangan berjilbab, sekitar 70 gabungan organisasi perdagangan dan organisasi non-pemerintah pendukung sekuler berdemonstrasi mencela keputusan tersebut. Dalam aksinya, mereka membawa bendera dan gambar pendiri sekularisme Turki, Mustafa Kemal Ataturk.
Aksi serupa sebelumnya juga dilakukan sekitar 125 ribu orang pekan lalu. Bahkan, partai oposisi Partai Rakyat Republik (CHP) mengancam akan melayangkan gugatan ke peradilan konstitusional untuk membatalkan amandemen tersebut. CHP menilai perubahan itu telah melenceng dari prinsip negara yang cenderung sekuler.
"Kami menghubungi semua pembuat kebijakan yang akan memberikan suara dalam pembuatan draf perubahan agar menyadari keinginan masyarakat," kata Ketua Parlemen CHP Kemal Anadol.
"Kami membuat panggilan publik kepada mereka yang mendukung gerakan tersebut. Sebab, hal itu justru membawa kekacauan dalam masyarakat," ujarnya.
Anggota parlemen dari Partai Rakyat Republik (PRP) Canan Aritman mengatakan, jilbab adalah simbol politik. "Kami tidak akan mengizinkan negara ini dibawa kembali ke zaman kegelapan," tambah Kamer Genc, anggota parlemen independen.
Menurut Genc, persetujuan undang-udang itu bakal memicu kematian republik sekuler. "Undang-undang itu bakal menimbulkan chaos di universitas dan memicu disintegrasi negara," tegasnya.
Sebagaimana diketahui, mayoritas warga Turki adalah Muslim. Dua per tiga wanitanya berkerudung. Namun, karena kontrol militer, jilbab saat ini dilarang dari semua kantor publik dan universitas. Perkembangan ini dipandang sebagai pertanda sistem sekuler yang ketat di Turki.
Penentangan paling sengit berasal dari barisan kemapanan sekuler, termasuk hakim senior, militer dan sebagian besar cendekiawan.
Salah seorang dari kubu sekuler, adalah Ural Akbulut, yang rektor salah satu perguruan tinggi ternama Turki, Universitas Teknis Timur Tengah di Ankara.
"Kami menilai ini bukan hak, tapi memaksakan keyakinan keagamaan ke dalam hukum kami, ke dalam konstitusi kami," katanya.
"Kami katakan ini akan menghancurkan faham sekuler kami. Begitu anda lakukan itu - kami yakin anda merusak demokrasi," tambah Akbulut.
Paranoia
Mereka yang mengenakan jilbab menepis pendapat semacam ini bentuk ketakutan berlebihan atau paranoia.
Mereka mengatakan, jilbab semata-mata ungkapan keyakinan agama pribadi mereka.
Namun, pemerintah yang mengajukan reformasi ini dipimpin oleh politisi relijius konservatif, dan hal itu memicu kecurigaan kalangan paling sekuler di Turki.
Kubu sekuler selalu beralasan, ini hanya salah satu langkah pertama dari banyak langkah, yang akan memungkinkan Islam menyusup ke dalam kehidupan publik dan politik di Turki, dan akhirnya mengikis negara sekuler.
Sabtu lalu, parlemen Turki telah menyetujui amandemen konstitusional pertama di antara dua amandemen yang akan menghapuskan larangan penggunaan jilbab di universitas. Sebanyak 403 anggota parlemen menyetujui amandemen itu dan 107 lain menolaknya.
"Artinya, amandemen itu bakal masuk dalam konstitusi," kata Koksal Toptan, Ketua parlemen Turki. Voting untuk amandemen kedua yang menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa dicegah haknya untuk menikmati pendidikan.
Sejak voting menyatakan dibolehkannya berjilbab, kubu sekuler dan militer yang telah memaksakan undang-undang diskriminatif ini selama berpuluh-puluh tahun langsung meradang dan berusaha sekuat tenaga agar para Muslimah tetap dilarang menggunakan jilbab.
0 comments:
Post a Comment