Malang benar nasib si maling ayam. Ketika tepergok massa, ia dijadikan bulan-bulanan sampai mati. Jika masih hidup pun tetap sengsara. ''Jangan main hakim sendiri,'' kata polisi yang menyelamatkannya dari amukan massa, lalu membawanya pergi. Tapi sampai di kantor polisi, ia diper-lakukan tak lebih baik. Kadang-kadang disiksa sampai mati, atau dibuat stres lalu bunuh diri. Kalau tidak tewas di tangan oknum aparat secara langsung, ia pun bisa meninggal di tangan sesama tahanan. Sudah nelangsa di dunia, di akhirat pun ia tak mendapat diskon atau penebusan dosa akibat perbuatannya itu.
Suara-islam.com--Kenestapaan hidup seperti itu sudah biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Lihat saja berita kriminalitas di televisi, atau di Pos Kota. Ini terjadi kare-na manusia (masyarakat, aparat, negara) ''main hakim sendiri''. Yaitu tidak menjadikan syariah Ilahi sebagai hukum.
Padahal, jika menerapkan hukum pidana Islam (uqubat), orang yang disebut maling ayam tadi akan untung di dunia dan akhirat. Ia tidak akan sampai dihukum mati. Paling-paling ditakzir, misalnya membayar denda atau kerja sosial. Bahkan bila pencurian dilakukan pada musim paceklik, atau karena dia kelaparan, maka pencuri tidak dihukumi alias bebas. Malah dia berhak mendapat zakat. Sudah begitu, di akhirat pun tidak dihadang siksa akibat perbuatan men-curinya di dunia.
Itulah dampak penerapan syariah Islam, yang bertujuan antara lain memelihara harta, jiwa, dan keamanan.
Maqoshid as-Syar'i
Muhammad Husain Abdullah, dalam Dirasat fil Fikri al Islami (1990, hlm. 61) mengemukakan paling tidak ada 8 aspek dalam kehidupan luhur masyarakat ma-nusia yang dipelihara dalam penerapan syari'at Islam.
Pertama: memelihara keturunan. Maka Islam mensyariahkan nikah dan mengharamkan perzinaan, serta menetapkan berbagai sanksi hukum terhadap para pelaku perzinaan itu, baik hukum jilid maupun rajam. Dengan itu, kesucian dan kebersihan serta kejelasan keturunan terjaga (Lihat: QS an-Nisa': 1; QS ar-Rum: 21; QS an-Nur: 2).
Kedua: memelihara akal, yakni dengan mencegah dan melarang dengan tegas segala perkara yang merusak akal seperti minuman keras (muskir) dan nar-koba (muftir) serta menetapkan sanksi hukum terhadap para pelakunya. Di samping itu, Islam mendorong manusia untuk menuntut ilmu, melakukan tadab-bur, ijtihad, dan berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal manu-sia dan memuji eksistensi orang-orang berilmu (Lihat: QS al-Maidah: 90-91; QS az-Zumar: 9; QS al- Mujadilah: 11 ).
Ketiga: memelihara kehormatan, yakni dengan melarang orang menuduh zina, mengolok, menggibah, melakukan tindakan mata-mata, dan menetapkan sanksi-saksi hukum bagi para pelakunya. (Lihat: QS an-Nur: 4; QS al-Hujurat: 10-12).
Keempat: memelihara jiwa manusia, yakni dengan menetapkan sanksi hukum-an mati bagi orang yang membunuh tanpa hak, dan menjadikan hikmah dari hukuman itu (qishash) adalah untuk memelihara kehidupan (Lihat: QS al-Baqarah: 179).
Kelima: memelihara harta, yakni dengan menetapkan sanksi hukum terhadap tindakan pencurian dengan hukuman potong tangan yang akan men-cegah manusia dari tindakan menjarah harta orang lain (Lihat: QS al-Maidah: 38). Demikian pula peraturan pengam-punan (hijr), yakni pencabutan hak mengelola harta bagi orang-orang bodoh dengan menetapkan wali yang akan memelihara harta yang bersangkutan (Lihat: QS an-Nisa 5; QS al-Baqarah: 282). Islam juga melarang tindakan belanja berlebihan, yakni belanja pada perkara haram (Lihat: QS al-Isra': 29; QS al-An'am: 141; QS al-Isra': 26-27). Keteta-pan Islam demikian diperuntukkan bagi semua warga negaranya, tanpa meman-dang agamanya. Karena itu, siapapun orang yang hidup dalam naungan syariah Islam terpelihara hartanya dan terjamin haknya untuk menjalankan usaha.
Keenam: memelihara agama, yakni dengan melarang murtad serta menetap-kan sanksi hukuman mati bagi pelakunya jika tidak mau bertobat kembali ke pang-kuan Islam (Lihat QS al-Baqarah: 217 dan Hadis Nabi). Sekalipun demikian, Islam tidak memaksa orang untuk masuk Islam (Lihat: QS al-Baqarah: 256). Melalui hukum syariah seperti ini kaum muslim terjamin untuk melaksanakan ajaran agamanya. Demikian pula orang non-muslim bebas untuk menjalankan agama-nya tanpa ada paksaan dari siapapun. Negara menjaminnya, masyarakat Islam memberikannya hak.
Ketujuh: memelihara keamanan, yakni dengan menetapkan hukuman berat bagi mereka yang mengganggu keamanan masyarakat, misalnya dengan memberikan sanksi hukum potong tangan plus kaki secara silang serta hukuman mati dan disalib bagi para pembegal jalanan (Lihat: QS al-Maidah: 33). Hukum syariah demikian diberikan kepada semua warga negara, baik muslim atau non-muslim tanpa diskriminasi Bahkan, siapapun yang mendalami sya-riah Islam akan menyimpulkan bahwa keamanan merupakan salah satu kebu-tuhan pokok kolektif warga yang dijamin oleh Daulah Islamiyah.
Kedelapan: memelihara negara, yakni dengan menjaga kesatuannya dan mela-rang orang atau kelompok orang mela-kukan pemberontakan (bughat) dengan mengangkat senjata melawan negara (Lihat: QS al-Maidah: 33 dan Hadis Nabi).
Akibat Pengabaian
Semua sudah hafal di luar kepala bahwa manusia adalah makhluk fitrah. Menurut Ibn Atsir, fitrah itu tidak lain adalah karakteristik penciptaan manusia dan potensi kemanusiaan yang siap untuk menerima agama. Oleh karena itu, Imam Zamakhsyari mengatakan, fitrah itu menjadikan manusia siap sedia setiap saat menerima kebenaran dengan penuh sukarela, tanpa paksaan, alami, wajar, dan tanpa beban. Seandainya setan jin dan setan manusia ditiadakan, niscaya manusia hanya akan memilih kebenaran itu (Al-Fâ'iq, III/128).
Faktanya, di dunia ini hanya Islamlah agama dan ideologi yang sesuai dengan fitrah manusia. Agama dan ideologi selain Islam hanya membahas aspek spiritual dan hubungan manusia dengan Tuhan dalam bentuk ritual penyembahan. Fitrah manusia tidak bisa menerima sekadar hal ini. Sebab, jika begitu, agama-agama itu hanya memperhatikan satu aspek fitrah saja dan mengabaikan fitrah manusia lainnya. Padahal aspek fitrah lainnya itu pemenuhannya juga menuntut adanya aturan.
Penyimpangan terhadap fitrah secara garis besar terjadi jika: Pertama: Fitrah itu secara keseluruhan atau sebagiannya diabaikan, ditinggalkan; juga ketika batas-batas fitrah, yakni batas-batas potensi manusia, dilampaui. Kedua: ada pengaturan fitrah dengan agama, ideo-logi, dan sistem aturan yang tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Kedua bentuk penyimpangan ter-hadap fitrah itu pasti akan mendatangkan akibat buruk bagi manusia. Akibat buruk itu antara lain:
Dehumanisasi. Fitrah merupakan ciri kemanusiaan manusia. Jika fitrah itu ditanggalkan, sebagian atau keseluruhan, sama saja menanggalkan ciri kemanu-siaan; manusia akan tercerabut dari sifat kemanusiaannya. Ketika manusia tidak menggunakan penglihatan, pendengaran dan hati atau akalnya dengan benar, potensi itu tidak digunakan untuk mene-rima kebenaran yakni Islam, Allah menilai manusia yang demikian lebih sesat daripada binatang (QS al-A'raf [7]: 179). Fitrah tidak membenarkan manusia membatasi kekuasaan Allah hanya dalam perkara spiritual ibadah.
Hancurnya kehidupan. Penyim-pangan terhadap fitrah juga menye-babkan hancurnya tatanan kehidupan di segala bidang. Dalam bidang politik lahir tatanan politik imperial, eksploitasi bangsa-bangsa dan perbudakan atas umat manusia. Dalam bidang ekonomi, sistem yang menyalahi fitrah (sistem Kapitalis-me), telah menyebabkan 80% kekayaan dan energi dunia dikuasai dan dinikmati oleh hanya 20% penduduk dunia, lebih khusus lagi bagian terbesarnya dinikmati oleh AS. Kehancuran yang sama terjadi pada bidang-bidang kehidupan lainnya.
Kehancuran alam. Hutan dibabat semena-mena, gunung berubah menjadi danau akibat penambangan, pulau-pulau kecil tenggelam karena pasirnya disedot untuk reklamasi, lautan porak-poranda akibat bom untuk menangkap ikan, gunung digunduli diambil kayunya, banjir pun meluluhlantakkan berbagai desa dan kota. Ini terjadi karena pengelolaan alam ala sistem Kapitalisme yang menyalahi fitrah manusia.[aya hasna/www.suara-islam.com]
0 comments:
Post a Comment