[EDISI 389] Dari hari ke hari, umat Islam di Indonesia wajar makin kecewa. Hal-hal yang terkait dengan keislaman dan keimanan umat makin tidak terjaga. Lihatlah beberapa kasus yang paling dekat. Pertama: Pada 21 Mei 2006 umat Islam dan pimpinan mereka dari berbagai organisasi dan komponen umat sebanyak 1,2 juta turun memenuhi jalan-jalan utama di Jakarta menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi Pornoaksi. Di daerah pun terjadi hal serupa. Ini benar-benar aspirasi umat. Namun, apa yang terjadi? Sampai saat ini tidak jelas. Pornografi dan pornoaksi pun bergentayangan terus di tengah generasi umat ini. Ini jelas-jelas merupakan pelecehan terhadap umat dan ulama. Pemerintah dan DPR seakan menganggap tuntutan 1,2 juta umat yang turun ke jalan tersebut laksana angin lalu.
Kedua: Pada tanggal 5 April 2007 digelar sidang terhadap Pimpinan Redaksi Majalah Playboy Indonesia, Erwin Armada, di Pengadilan Jakarta Selatan. Banyak ulama datang saat itu, bahkan membacakan somasi. Namun, apa yang terjadi? Pimpinan majalah porno tersebut divonis “tidak bersalah”. Sampai kini, Majalah Playboy pun tetap dijajakan di ruas-ruas jalan di Jakarta. Lagi-lagi, kehendak umat untuk menjaga moral dan akhlak masyarakat diabaikan oleh penguasa dan wakil rakyat.
Ketiga: Fatwa MUI tahun 1980 yang ditegaskan lagi tahun 2005 menyatakan aliran Ahmadiyah sesat karena selain mengaku kerasulan Nabi Muhammad juga meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi/rasul—sekalipun tidak membawa syariat baru. Fatwa ini masih berlaku sampai saat ini. Organisasi Konferensi Islam dalam Majma’ Fiqh al-Islami di Jeddah tahun 1985 juga telah menegaskan hal yang sama. Namun, apa yang terjadi? Lagi-lagi dengan ‘arahan’ dari Litbang Departemen Agama, Badan Koordinasi Pengkaji Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) lalu menetapkan Ahmadiyah tidak terlarang. Bagaimana mungkin dialog yang hanya 7 putaran, dalam waktu cepat, dan tanpa menyoal buku-buku mereka dapat meniadakan keputusan ulama dunia? Belum lagi ada informasi bahwa Pemerintahan Saudi akan menyeleksi jamaah haji dari Indonesia karena khawatir ada orang Ahmadiyah—yang telah difatwakan kafir dan haram masuk Tanah Haram oleh ulama di sana—turut naik haji. Bukankah sikap Bakor Pakem ini merupakan pelecehan terhadap Islam dan ulamanya? Namun, ketika sebagian umat Islam merasa disakiti, dan makin sakit, lalu ada yang tidak sabar lagi hingga melakukan tindak kekerasan yang sejatinya tidak boleh terjadi, yang dipersalahkan justru umat Islam yang menjaga kemurnian akidah Islam. Dalihnya, HAM! HAM telah dijadikan tuhan, ditarik kesana-kemari demi untuk menyingkirkan Islam dari kehidupan. Jadi, seolah-olah yang terlarang itu adalah menjaga kemurnian Islam.
Semua itu amat berbeda dengan sikap dan tindakan para pemimpin Islam/para Khalifah dulu. Sikap di atas berbeda dengan sikap Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq yang menindak tegas dan memerangi Musailamah yang mengklaim sebagai nabi dan para pengikutnya. Khalifah Abu Bakar ra. menindak tegas semua pihak yang mempermainkan dan menodai akidah Islam dengan keluar dari Islam alias murtad dan menolak kewajiban membayar zakat. Bahkan Ibn al-Jauzi dalam Al-Muntazham dan Ibn Asakir melaporkan, bahwa Khalifah Abu Bakar memerintahkan Panglima Khalid ibn Walid agar tidak memasukkan satu orang pun yang dulunya murtad ke dalam pasukan Islam untuk menjalankan misi jihad. Kebijakan itu dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra. seperti yang dilaporkan oleh ath-Thabari dalam Târîkh-nya.
Dibutuhkan Negarawan Sejati
Bukan hanya abai terhadap penjagaan akidah umat, penguasa saat ini juga tampak tidak peduli terhadap penderitaan rakyat. Banyak politisi dan pejabat sekarang—saat rakyat menderita kemiskinan dan kesulitan memenuhi kebutuhan pangan—justru meminta kenaikan gaji, tunjangan dan fasilitas tambahan.
Hal itu bertolak belakang dengan Khalifah Umar bin al-Khaththab. Ketika masa paceklik dan kekurangan pangan melanda Madinah, Khalifah Umar tidak mau mengecap makanan enak dan hanya makan roti murahan yang diolesi minyak. Beliau berprinsip, jika rakyat bisa makan enak, biarlah dirinya menjadi orang terakhir yang bisa makan enak. Sebaliknya, jika rakyat kelaparan, biarlah dirinya menjadi orang terakhir yang terbebas dari kelaparan.
Ketika menjumpai sebagian rakyatnya kekurangan pangan, Khalifah Umar langsung menyelesaikannya dan mencukupi bahan makanan mereka, bahkan beliau memanggulnya sendiri. Agar rakyat Irak terbebas dari kemiskinan, Khalifah Umar memberikan bantuan cuma-cuma kepada para petani Irak agar bisa mengolah tanah mereka. Kebijakan itu dilanjutkan oleh para Khalifah Umayah dan Abbasiyah.
Perumahan yang termasuk kebutuhan pokok rakyat mestinya dijamin oleh Pemerintah. Namun, jangankan memberikan jaminan, yang terjadi justru penggusuran dilakukan di sana-sini. Hingga kini dengan berbagai dalih hal itu terus saja terjadi. Akibatnya, puluhan ribu orang tiba-tiba terlantar.
Sungguh berbeda dengan yang dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab, lebih dari 13 abad lalu. Di dalam Hayah ash-Shahâbat, Syaikh al-Kandahlawi memaparkan, bahwa Umar pernah akan memperluas Masjid Nabawi. Namun, niatnya terkendala oleh penolakan al-Abbas yang rumahnya bakal kena gusur untuk tujuan itu. Khalifah Umar pun tidak memaksanya. Beberapa waktu kemudian al-Abbas sendiri yang memperluasnya. Begitu pun saat akan dilakukan perluasan masjid di Mesir yang untuk itu harus menggusur rumah seorang non-Muslim. Khalifah Umar juga tidak memaksanya, apalagi menterornya dengan mengirim preman.
Manshur al-Hajib, penguasa Andalusia, juga pernah berencana membangun jembatan di atas sungai yang membelah kota Qordova. Untuk itu, ia harus menggusur rumah seorang tua. Ketika orang tua itu meminta harga 10 dinar (setara 42,5 gram emas) utusan Manshur langsung menyetujuinya tanpa menawarnya. Saat dilaporkan kepada Manshur maka Manshur pun memanggil orang tua itu. Manshur al-Hajib memberikan penghargaan atas kesediaan orang tua itu menyerahkan tanahnya dan Manshur pun memberinya tambahan 90 dinar.
Pendidikan sebagai kebutuhan dasar rakyat saat ini juga hanya ilusi. Para politisi lebih suka mematuhi nasihat pihak asing dengan memprivatisasi pendidikan. Akibatnya, pendidikan menjadi mahal; tidak terjangkau oleh masyarakat kecil.
Fakta di atas sungguh jauh dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh para Khalifah dan penguasa dalam sistem Khilafah dulu yang memberikan pendidikan berkualitas dan beban biaya kepada rakyat. Khalifah Harun ar-Rasyid memberikan hadiah hingga 100 dinar (setara 425 gram emas) untuk para penuntut ilmu. Khalifah al-Makmun membangun Bait al-Hikmah. Khalifah al-Mustanshir membangun Madrasah al-Mustanshiriyah yang bebas biaya. Hal sama dilakukan oleh Sultan Nuruddin M Zanki dengan membangun Madrasah an-Nuriah. Semuanya disertai dengan sarana yang lengkap dan bebas biaya.
Mendambakan Negarawan Sejati
Ideologi yang diterapkan dan diadopsi saat ini adalah ideologi Kapitalisme-sekular. Ideologi ini menjadikan manfaat atau kepentingan sebagai nilai yang diagungkan dan dijadikan tolok ukur. Di tengah ideologi dan sistem politik seperti saat ini, mustahil kita mengharapkan akan muncul negarawan seperti Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Umar bin Abdul Aziz, Manshur al-Hajib, Harun ar-Rasyid, al-Mustanshir, Abdul Hamid II dan sebagainya itu. Negarawan seperti mereka hanya bisa dibentuk dalam sebuah institusi negara yang berideologi Islam. Pemimpin dalam sistem Islam akan sadar bahwa kekuasaan merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Di telinga mereka akan senantiasa terngiang sabda Rasul saw. berikut:
فَاْلأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ
Seorang pemimpin (penguasa) adalah pengurus rakyat; dia bertanggungjawab atas rakyat yang diurusnya. (HR al-Bukhari).
أَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَى اللهِ إِمَامٌ عَادِلٌ وَ أَبْغَضُهُمْ إِمَامٌ جَائِرٌ
Makhluk yang paling dicintai Allah adalah pemimpin yang adil dan yang paling dibenci-Nya adalah pemimpin yang zalim. (HR Ahmad).
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba yang diserahi Allah memelihara dan mengurus (kepentingan) rakyat lalu meninggal, sementara ia menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan atasnya surga. (HR Muslim, Ahmad, dan ad-Darimi).
Wahai Kaum Muslim:
Kini, kita tidak lagi memiliki pemimpin yang mengayomi dan melindungi umat; kita tidak lagi mempunyai benteng yang menjaga kita sebagaimana yang disabdakan Nabi saw.:
الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَاءِهِ وَ يُتَّقَ بِهِ
Imam/Khalifah itu adalah benteng, (umat) berperang di belakangnya dan dilindungi olehnya
Karena itu, belum tibakah saatnya kita memiliki Imam/Khalifah yang dapat memelihara urusan umat serta mengayomi dan melindungi umat di bawah naungan Khilafah Islamiyah yang menerapkan syariah-Nya?! Wallâh a‘lam bi ash-shawâb
0 comments:
Post a Comment