(www.adianhusaini.blogspot.com)Di era globalisasi dan westernisasi saat ini, ”multikulturalisme” tampaknya sudah dianggap sebagai paham ideal yang harus diterima masyarakat. Seperti paham-paham modern lain, demokrasi, liberalisme, pluralisme, kesetaraan gender, dan sebagainya, multikulturalisme juga diwajibkan – oleh penguasa dunia, entah siapa makhluknya – untuk dipeluk oleh semua orang. Tidak peduli, apakah dia pejabat, dosen, artis, atau dai. Semua harus multikulturalis, menganut paham multikulturalisme.
Maka, sudah beberapa tahun belakangan ini, kita mendengar banyak sekali pimpinan pesantren, dosen, mahasiswa, dan berbagai kalangan masyarakat yang ditraining paham multikulturalisme. Menurut mereka, dengan memeluk paham ini, kita bisa selamat dan membawa kemaslahatan. Tanpa banyak terekspose oleh media massa, pada 11 Desember 2007 lalu, Badan Litbang Departemen Agama mengumumkan hasil penelitiannya tentang “Pemahaman Nilai-nilai Multikultural Para Da’i”.
Hasil penelitian ini sangat penting untuk kita cermati, karena menyangkut masalah pemahaman keagamaan para dai, baik fakta maupun Sebelum kita melihat hasil penelitian Depag tersebut, kita simak dulu apa definisi multikulturalisme yang dijadikan acuan oleh Depag. Pada bagian Latar Belakang, dijelaskan pernyataan Ketua Balitbang Depag, Atho Mudzhar, bahwa selain dapat menjadi faktor integrasi, agama juga dapat menjadi faktor dis-integrasi.
Agama sebagai faktor disintegrasi bangsa Indonesia, dapat dilihat pada terjadinya konflik keagamaan – bahkan sampai saat ini – di beberapa daerah di Indonesia. “Konflik ini salah satunya disebabkan oleh adanya pemahaman keberagamaan masyarakat yang masih eksklusif. Pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lain. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran lainnya adalah salah dan dianggap sesat,” demikian kutipan paparan pendahuluan hasil penelitian tersebut.
Sampai pada kalimat tersebut, kita semua -- juga para pejabat Litbang Depag -- patut merenung. Benarkah seperti itu? Bahwa konflik agama terjadi karena pemeluk agama meyakini kebenaran agamanya sendiri? Kita menjawab, bahwa asumsi itu sangat tidak benar. Kaum beragama saat ini harusnya berpikir ulang, bahwa mereka sedang dalam posisi dijadikan kambing hitam atas berbagai konflik yang terjadi, seolah-olah konflik-konflik itu terjadi karena urusan agama. Padahal, berapa persen yang sebenarnya masalah agama? Perlu kita catat, bahwa korban kekerasan terbesar di dunia ini adalah masyarakat sipil yang diperangi atas nama kebebasan dan demokrasi. Kita tidak menafikan ada konflik bermotif agama atau bernuansa agama. Tapi, marilah kita teliti dengan cermat, apakah konflik-konflik itu terjadi karena umat beragama memiliki pemahaman eksklusif bahwa hanya agamanya sendiri yang benar?
Dalam berbagai kesempatan, masalah truth claim (klaim kebenaran) ini sering dijadikan sebagai kambing hitam terjadinya konflik antar agama, sehingga pemeluk agama dianjurkan melepaskan kliam kebenaran atas agamanya masing-masing. Tentu saja, ini sangat mustahil, kecuali bagi orang-orang yang memang sudah bosan beragama. Simaklah sebuah buku menarik berjudul ”Hindu Agama Terbesar di Dunia” terbitan Media Hindu (2006). Judul buku itu merupakan terjemah dari artikel berjudul ”Hinduism, the Greatest Religion in the World,” karya Satguru Sivaya Subramuniyaswami di majalah Hinduism Today edisi Februari/Maret/April 2000. Tulisan itu merupakan respon terhadap seruan Paus John Paul II kepada para Uskup dan orang-orang Katolik untuk mengkoversi orang-orang Hindu di India, dalam pidatonya di New Delhi tanggal 25 Desember 1999, tepat saat umat Hindu merayakan hari suci mereka, Depavali.
Tulisan ini berusaha menanamkan keyakinan dan kebanggaan kepada para pemeluk agama Hindu terhadap agama mereka, dengan menggambarkan bahwa: ”Seorang disebut manusia besar bukan karena tubuhnya gede, tetapi karena karakternya, karena sumbangannya kepada masyarakatnya. Secara kuantitas pemeluk Hindu bila digabung dengan ”anak-anaknya” berjumlah 1,5 milyar, lebih besar dari Islam. Dan ingat, Hindu bukanlah agama missi yang agresif seperti Kristen atau Islam. Tetapi kebesaran Hindu terletak pada karakternya, sumbangannya pada peradaban. Dan dalam membangun budaya dan peradaban, Hindu tidak pernah menghancurkan budaya dan peradaban yang sudah ada. Sebaliknya Hindu melindungi, memeliara, dan bahkan mengembangkan mereka.” (bagian pengantar oleh Ngakan Made Madrasuta).
Kita tentu menghormati keyakinan kaum Hindu semacam itu dan tidak perlu menyatakan bahwa keyakinan semacam itu adalah sumber konflik. Bagi orang yang serius mau beragama, tentu dia memeluk agama tertentu karena meyakini ada hal-hal yang unik dalam agamanya. Dia yakin agamanya benar. Dia yakin agamanya akan mengantarkannya ke jalan keselamatan. Untuk apa dia beragama kalau tidak yakin? Karena itulah, kaum Hindu juga tidak rela umat mereka dijadikan sasaran misi Kristen. Tentu sangat aneh, jika ada orang masih mengaku Muslim, tetapi lebih percaya kepada Bibel ketimbang al-Quran. Juga aneh kalau orang masih tetap mengaku Kristen tetapi lebih meyakini al-Quran ketimbang Bibel.
”Multikulturalisme sejati” seharusnya tidak menggerus keyakinan eksklusif masing-masing agama. Justru menghormati adanya keyakinan yang beragam itulah makna sejati dari mengakui keberagaman, bukan menggerus keyakinan masing-masing agama dan menggantinya dengan satu berhal baru bernama ”multikulturalisme”. Mengapa kita sebut dengan ”berhala”, sebab paham ini sepertinya diterima dan ditelan begitu saja tanpa sikap kritis. Kaum muslim dijejali dengan paham-paham semacam ini, yang tujuannya sudah jelas – seperti ditulis dalam laporan penelitian Depag ini – yaitu menggerus keyakinan beragama kaum Muslim.
Pakar Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Thoha, berulang kali menyebutkan, bahwa salah satu watak jahat paham Pluralisme Agama adalah sikapnya yang otoriter yang mau membuang semua keyakinan dan menggantikannya dengan satu ”Teologi Universal”. Pernyataan Dr. Anis itu sering terbukti di lapangan. Kita sering melihat, bagaimana orang-orang yang mengaku pluralis marah-marah dan memaki-maki MUI karena mengeluarkan fatwa bahwa menghadiri Perayaan Natal Bersama adalah haram. Jika dia pluralis atau multikulturalis, maka seharusnya dia menghormati pendapat dan keyakinan MUI, bukan memaksakan pendapatnya sendiri yang benar. Kita makin heran melihat, bagaimana kadangkala mereka mengeluarkan sumpah serapahnya, hanya karena kita tidak mau mengikuti paham-paham sekular dan liberal Barat.
Jika paham multikulturalisme semacam ini yang dijadikan acuan untuk dipeluk umat beragama di Indonesia, maka alangkah kelirunya penelitian Litbang Departemen Agama tersebut. Dalam laporan penelitian setebal 24 halaman ini, kita juga mendapati sejumlah indikator yang aneh, yang dijadikan sebagai parameter untuk menilai kualitas pemahaman dan sikap ”multikulturalisme” para dai, apakah sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik, dan sangat kurang baik.
Misalya, hasil penelitian menunjukkan, bahwa pemahaman para dai terhadap nilai-nilai multikulturalisme pada dimensi kesetaraan dinilai ”cukup baik”, karena para dai itu percaya bahwa ada agama lain yang merupakan agama samawi dan meyakini bahwa Yahudi dan Kristen sekarang ini adalah ahlul kitab.
Kita tidak mempersoalkan hasil penelitian ini. Tapi, mengapa indikator yang dipilih adalah hal-hal semacam itu? Bagi Muslim, maka tidak ada salahnya jika meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama samawi. Begitu juga soal pandangan tentang Ahlul Kitab. Banyak sekali pandangan ulama tentang masalah ini. Jadi, sangat naif untuk menilai seseorang dai itu berpaham multikulturalis atau tidak berdasarkan pemahamannya terhadap agama samawi dan Ahlul Kitab.
Pada bagian hasil penelitian tentang ”Perasaan Da’i terhadap Nilai-nilai Multikultural” ditemukan, bahwa tidak sampai seperempat dari jumlah dai yang menjadi responden dalam penelitian ini yang memiliki perasaan terhadap nilai-nilai multikultural yang cukup baik sampai baik. Para dai yang diteliti ternyata merasa kurang nyaman bertetangga dengan orang yang berbeda agama, tetapi cukup baik nilai mereka dalam soal kesenangan berteman dengan orang yang berbeda agama. Para dai itu rata-rata juga merasakan perlunya UU Penyiaran Agama untuk mengurangi konflik antar umat beragama. Mereka juga rata-rata tidak suka jika penganut agama lain menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama.
Pada bagian ”Kecenderungan Perilaku Da’i terhadap Nilai-nilai Multikultural” ditemukan hasil yang buruk dalam beberapa hal berikut: (1) dalam soal penerimaan terhadap perkawinan berbeda agama, (2) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama untuk mengajar anak di sekolah, (3) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama dalam melakukan kegiatan di daerah Muslim, dan (4) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama untuk membangun rumah ibadah di daerah Muslim.
Diantara kesimpulan dari hasil penelitian ini ialah: ”Ketidakpahaman dan ketidaknyamanan para dai terhadap nilai kesetaraan berpengaruh pada kecenderungan penerimaan dai terhadap nilai kesetaraan. Walaupun mereka cenderung akan berperilaku setara dengan cara menerima orang yang berbeda agama dengan cara berteman dan bertetangga, tetapi mereka tidak akan menerima perkawinan berbeda agama. Mereka cenderung akan berperilaku adil dalam hal memberikan kesempatan kepada orang yang berbeda agama mengeluarkan pendapat, tetapi cenderung tidak akan memberikan kesempatan kepada teman lain yang berbeda agama untuk bersama-sama melakukan ibadah sesuai dengan agama masing-masing. Bahkan, cenderung akan menolak orang yang berbeda agama mengajar anak mereka di sekolah, orang yang berbeda agama mengadakan kegiatan di daerah muslim dan orang yang berbeda agama membangun rumah ibadah di daerah muslim. Mereka juga cenderung tidak akan menghargai orang yang berbeda agama. Karena itu, mereka tidak akan mendoakan orang yang berbeda agama untuk mendapatkan kebaikan dan keselamatan serta tidak akan mengucapkan selamat kepada orang yang berbeda agama pada saat mendapat kegembiraan.”
Terhadap fenomena rendahnya pemahaman dan sikap multikulturalisme para dai, maka direkomendasikan (1) agar disosialisasikan kepada para dai tentang materi-materi hubungan antar agama yang didasarkan pada ayat-ayat al-Quran yang mengandung penekanan terhadap prinsip-prinsip kesetaraan, misalnya penggunaan istilah ahli kitab (ahl al-kitab) yang digunakan al-Quran antara lain sebagai ungkapan penghargaan yang tinggi karena mereka berpegang pada ketuhanan yang monoteistik, (2) Ketidaknyamanan para dai bertetangga dengan orang yang berbeda agama berkaitan erat dengan pemahaman mereka terhadap nilai kesetaraan. Untuk merubah ketidaksukaan betetangga dengan orang yang berbeda agama, para dai perlu diyakinkan bahwa Islam tidak melarang untuk bertetangga dengan orang yang berbeda agama. (3) Kecenderungan perilaku dai terhadap nilai-nilai multikultural yang tergolong kurang baik diperlukan adanya kegiatan-kegiatan yang bersifat interaksi antara pada dai dan orang-orang yang berbeda agama dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan.
Apa pun hasil penelitian ini, kita melihat, tampaknya saat ini, untuk menentukan seorang dai itu baik atau buruk sudah digunakan parameter baru, yakni parameter keimanan para dai terhadap paham ”Multikulturalisme”; dan bukan lagi menggunakan parameter: ”Syar’iy atau tidak Syar’iy”, ”Halal atau Haram”, ”Haq atau Bathil”, ”Bid’ah atau Sunnah”, ”Iman atau Syirik”. Jika demikian halnya, ini sama saja telah memberhalakan paham ”Multikulturalisme”.
Sebagai cendekiawan, seyogyanya para peneliti tidak terburu-buru menerima begitu saja paham-paham baru – seperti Multikulturalisme – tanpa menilainya dengan standar pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Menyimak indikator-indikator yang digunakan untuk meneliti tingkat ”kemultikulturalan” seorang dai, tampak jelas, paham ini memang justru bermasalah. Jadi, semestinya Islam-lah yang menilai paham Multikulturalisme. Bukan sebaliknya, Islam dan kaum Muslim justru dinilai dengan kacamata Multikulturalisme. Wallahu a’lam.
[Depok, 4 Januari 2008]
0 comments:
Post a Comment