Di tengah upaya mengusut kasus perdata Soeharto, jenderal besar ini meninggal. Bagaimana kasus perdatanya? Bagaimana tanggung jawab keluarga?
Suara-islam.com--Inna lillahi wainna ilahi raaji’uun. Setelah menginap di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) sejak 4 Januari 2008, untuk mendapat perawatan, akhirnya Allah menentukan takdirnya kepada mantan Presiden Soeharto. Jenderal besar yang pernah berkuasa selama 32 tahun pada masa Orde Baru itu pun menghembuskan nafas terakhir pada Ahad (27/1/2008) pukul 13.13 WIB.
Ucapan bela sungkawa pun datang dari sejumlah pejabat negara, pemimpin negara asing, koleganya, tokoh yang berseberangan, para ulama, dan sejumlah pejabat dan tokoh di daerah. Sementara suasana lengang tampak di RSPP, tempat Soeharto dirawat. Bendera setengah tiang pun berkibar di depan Istana Negara, sejumlah instansi pemerintah dan swasta di sepanjang jalan utama Jakarta. Juga berkibar di depan rumah sebagian warga Jakarta. Presiden SBY mengumumkan hari berkabung nasional selama tujuh hari atas meninggalnya Pak Harto.
Di Bandung Gubernur Jabar Danny Setiawan mengintruksikan masyarakat Jabar untuk mendoakan Pak Harto. Sedangkan Gubernur Jawa Tengah Ali Mufiz meminta untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama hari berkabung nasional, mulai hari Ahad sampai 2 Februari. Beberapa gubernur juga memberikan imbauan yang sama kepada warganya.
Pemakaman Soeharto diberlangsungkan Senin, (28/1) di Astana Giribangun, Karanganyar, Solo. Ia dimakamkan di samping makam istrinya Tien Soeharto.
Soeharto tutup usia pada umur 86 tahun. Ia lahir di Kemusuk Argo Mulyo 8 Juni 1921. Dilantik sebagai Presiden pada tanggal 27 Maret 1968, dan berkuasa hingga 32 tahun, sebelum akhirnya lengser pada 1998 oleh gelombang demonstrasi mahasiswa.
Soeharto menikah dengan Suhartini dan memiliki enam orang anak. Yaitu Sigit Harjodjudanto, Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titik), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).
Baik Buruk
Jenderal besar itu kini telah tiada. Meski sebagian masyarakat telah memberikan maaf, namun tidak menghilangkan sisi gelap Pak Harto, baik terkait pidana (pelanggaran HAM) maupun perdata (korupsi dll). Amien menyatakan bahwa bangsa Indonesia harus belajar dari kesalahan Soeharto. Soeharto itu memiliki kebaikan dan kekurangan. “Yang baik ditiru yang jelek ya dibuang," ujar Amien.
Mantan ketua MPR ini mengatakan, kesalahan Soeharto di masa kepemimpinannya juga akibat situasi yang saat itu memungkinkannya untuk melakukan kesalahan. "Semua kalangan, baik akademisi, ilmuwan, ulama, dan partai tidak pernah ada yang membantah kesalahan Soeharto, saya kira ini kesalahan kolektif," tandasnya.
Ismail Yusanto, Jubir HTI mengatakan sebagai muslim, tentu umat Islam berdoa untuk Pak Harto sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah SAW. “Kita tentu hanya bisa berdoa sesuai yang diajarkan rasulullah. Allahumagh firlahu warhamu wa’afihi wa’fu ‘anhu,” ujarnya. Sewajarnya juga umat Islam juga mendoakan agar Pak harto mendapat Jannah (surga), segala amal kebaikannya diterima dan kesalahannya diampuni Allah.
Meninggalnya Pak Harto, tentu saja membuat kasus hukumnya yang menyangkut pidana atau terkait kejahatan kemanusiaan selesai. Menurut Ismail, itu sangat disayangkan, karena ia belum mendapat hukumannya di dunia. “Padahal itu salah satu jalan untuk meringankan bebannya di akhirat kelak,” ujarnya.
Kini yang tersisa dari Pak Harto adalah kasus perdatanya. Kasus perdata inilah yang barangkali akan menjadi beban buat Pak Harto. “Itu akan menjadi bebannya di akhirat jika pihak keluarga yang ditinggal tidak menyelesaikan kasus ini,” ujar Ismail.[pd/www.suara-islam.com]
0 comments:
Post a Comment