[EDISI 388] Pada 15 Januari 2008 lalu, hanya berbekal 12 pernyataan dari pihak Ahmadiyah Rapat Badan Koordinasi Pengkaji Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) pusat menyatakan tidak melarang Ahmadiyah, dan memberi kesempatan 3 bulan kepada Ahmadiyah untuk membuktikan pernyataannya bahwa ajarannya sama dengan Islam. Padahal, aliran ini sudah dipandang sesat oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) sejak tahun 1974. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah melarangnya sejak 1980, yang ditegaskan kembali pada 2005. Keputusan Bakor Pakem tersebut sudah terbaca dari awal. Sebab, jauh hari sebelumnya (7/1/2008), Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), Wisnu Subroto, mengatakan: ’Pemerintah tidak setuju Ahmadiyah dibubarkan/ dilarang’. Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Fatwa MUI KH Ma’ruf Amin mengatakan bahwa 12 pernyataan yang dibuat oleh Ahmadiyah hanyalah retorika, dan fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah tetap berlaku.
Mencermati Pernyataan Ahmadiyah
Ajarannya Ahmadiyah tertulis dalam berbagai bukunya. Lalu, apakah 12 pernyataan yang disampaikan itu dapat menggambarkan hakikat ajaran Ahmadiyah sesungguhnya? Apakah pernyataan tersebut sesuai dengan apa yang ada didalam buku-buku mereka? Karenanya, penting mencermati isi pernyataan tersebut, khususnya yang sangat substansial.
Ahmadiyah mengakui Muhammad SAW sebagai Rasulullah (butir 1). Namun, penting dicatat bahwa sekalipun mereka mengakui Muhammad SAW sebagai Rasul namun didalam ‘kitab suci’ mereka (Tadzkirah) diserukan bahwa yang harus diikuti adalah Mirza Ghulam Ahmad; yang diutus sebagai Rasul dengan membawa agama kebenaran dan dimenangkan diatas semua agama adalah Mirza Ghulam Ahmad; yang menjadi ‘al mukhothob’ (yang diseru) dalam ayat-ayat al-Quran yang dimasukkan kedalam Tadzkirah adalah Mirza (Haqiqatul Wahyi, hal. 71 dan kandungan umum Tadzkirah).
Butir ke-2 pernyataan itu menyebutkan bahwa Muhammad Rasulullah adalah khatamun nabiyin (nabi penutup). Tetapi, keyakinan yang lengkap terdapat didalam buku resmi mereka: ‘Nabi Muhammad merupakan nabi penutup yang membawa syariat, tetapi bukan penutup nabi-nabi yang tidak membawa syariat. Jadi, tetap terbuka diutusnya nabi setelah Nabi Muhammad’ (Ahmadiyah, Apa dan Mengapa. Syafi’i R. Batuah. Cetakan XVIII. Peberbitan Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1986, hal. 7) dan khatamun nabiyyin yang mereka yakini artinya nabi yang paling sempurna, cincin para nabi (Tiga Masalah Penting, H. Mahmud Ahmad Chema, H. A. Penerbit Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1987, hal. 25-26). Bahkan, dalam terjemahan bahasa Inggris buku Tadzkirah (tahun 2006) yang dikeluarkan Pimpinan Pusat Ahmadiyah di London kata khatam dalam ‘khathamun nabiyyin’ dimaknai dengan seal (segel, materei) bukan penutup. Jadi, butir ke-2 ini hanya mengungkapkan sepotong dari keyakinan sebenarnya.
Butir 3 menyatakan ‘Diantara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, … ‘. Butir ini menyatakan ‘diantara keyakinan kami’. Ada keyakinan mereka yang tidak disebutkan di butir pernyataan ini, yaitu Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi mereka. Di dalam Tadzkirah antara lain dinyatakan, “Dialah Tuhan yang mengutus rasulNya, Mirza Ghulam Ahmad, dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya atas semua agama (Tadzkirah, hal. 621). Dalam Kata Pengantar Tadzkirah edisi Inggris disebutkan: ‘Mirza Ghulam Ahmad affirmed that his claim to prophethood, as explained by him, was in accord with the Holy Quran and the true Hadits’ [Mirza Ghulam Ahmad menegaskan bahwa klaimnya terhadap kenabian, seperti yang ia jelaskan, sesuai dengan petunjuk al-Quran dan hadits shahih] (Tadzkirah, edisi Inggris, Pimpinan Pusat Ahmadiyah London, 2006, hal. 7).
Butir 5 menyatakan ‘ … tidak ada wahyu syariat setelah al-Quranul Karim …’. Disini hanya disebut ‘wahyu syariat’ karena memang mereka meyakini Mirza tidak membawa syariat baru. Namun, buku Ahmadiyah tetap menyebutkan tentang keyakinan ada wahyu selain ‘wahyu syariat’ yang turun kepada Mirza (Kami Orang Islam, PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1984, hal. 22). Bahkan, banyak teks dalam buku Tadzkirah yang menyatakan bahwa wahyu diturunkan kepada Mirza Ghulam Ahmad (Tadzkirah: 519, 637; Haqiqatul Wahyi: 88; Al-istifta`: 83).
“Buku Tadzkirah bukanlah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad …” (butir 6). Tapi, nama lengkap buku itu adalah:
تَذْكِرَةُ يَعْنِى وَحْيٌ مُقَدَّسٌ رُؤْيَا وَ كُشُوْفَ حَضْرَتِ مَسِيْح مَوْعُوْدِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ
(Tadzkirah, yakni wahyu suci, mimpi, kasyaf Hadhrat al-Masih yang dijanjikan/masih maw’ud atasnya shalawat dan salam).
Bahkan dalam ayat-ayat dalam Tadzkirah bertebaran perkataan yang diawali ‘menurut wahyu’, baik dalam bahasa Urdu, Persia, atau Arab. Mirza sendiri mengakui wahyu pertama yang turun adalah ‘Yah, Ahmad, barokallohu fika’ (Wahai, Ahmad, Allah telah memberikan berkah kepadamu) dan Allah SWT berbicara langsung dengan Mirza (Tadzkirah: 43-70).
Pada satu sisi, ajaran seperti ini disebut oleh Rasulullah saw. sebagai dusta. Pada masa Nabi Muhammad saw. ada seseorang yang bernama Musailamah yang mengaku Nabi. Kemudian Rasulullah saw. berkhutbah:
أَمَّا بَعْدُ فَفِي شَأْنِ هَذَا الرَّجُلِ الَّذِي قَدْ أَكْثَرْتُمْ فِيهِ وَإِنَّهُ كَذَّابٌ مِنْ ثَلاَثِينَ كَذَّابًا يَخْرُجُونَ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ
Amma ba‘du. Terkait dengan laki-laki yang banyak kalian bicarakan itu, sesungguhnya dia itu pendusta besar (kadzdzâb); salah satu dari tiga puluh pendusta yang akan datang sebelum Hari Kiamat. (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Suatu waktu, Musailamah al-Kadzdzâb mengirim surat kepada Nabi Muhammad saw. yang disampaikan oleh dua utusannya. Rasul saw. bertanya kepada keduanya, “Apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?” Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwa Musailamah adalah Rasulullah.” Rasulullah Muhammad saw. pun berkata, “Kalau saja aku dibolehkan membunuh utusan, niscaya aku akan memenggal leher kalian berdua.” (HR Ahmad).
Pada sisi lain, terdapat perbedaan sangat prinsip antara isi pernyataan dengan apa yang tertulis dalam buku-buku mereka. Jadi, kaum Muslim sejatinya waspada dan tidak mudah untuk menerima penjelasan yang hanya 12 butir lagi singkat tersebut.
Aspek Politis
Inggris memiliki peran strategis membidani lahirnya Ahmadiyah. Sejak awal kelahirannya, aliran ini sesungguhnya bermotif untuk menangkal semangat jihad di tubuh kaum Muslim dalam melawan Inggris saat itu (Maryam Jameelah, Islam and Modernism, 1968, Lahore-Mohammad Yusuf Khan, hlm. 54).
Pada tahun 1876 M Mirza Ghulam Ahmad mengaku pertama kali menerima wahyu. Pada 1889 M, di India, Mirza menobatkan dirinya sebagai nabi dan rasul sekaligus sebagai al-Masih al-Maw‘ûd (al-Masih yang Dijanjikan). Pada masa tersebut, India sedang diduduki Inggris. Pada saat yang sama, Inggris dan Prancis sedang gigih untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Pada tahun 1865 Menteri Luar Negeri Inggris Lord Clardon mengatakan, “Sesungguhnya satu-satunya jalan untuk melakukan reformasi pemerintahan Utsmani adalah dengan memusnahkannya dari muka bumi secara keseluruhan” (Ismail Yagha, Ad-Dawlah al-Utsmaniyyah, hlm. 159).
Dalam kondisi seperti itulah, pada 1889 M lahir Ahmadiyah di India. Gerakan ini tumbuh dan berkembang berkat rencana penjajah Inggris di India. Mirza telah menghapuskan kewajiban jihad demi bangsa-bangsa kafir. Dia sangat memuji orang-orang Inggris dan menyerukan para pengikutnya untuk membantu penjajah Inggris di manapun mereka berada (Utsman Abdul Mun‘im, ‘Aqîdât Khatam an-Nubuwwah, hlm. 209).
Ahmadiyah bahkan mengklaim Kekhalifahan. Makna ‘Khilâfah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah (HR Ahmad) diyakini sebagai Khilafah Ahmadiyah. “Bagian akhir dari hadis di atas merujuk pada kedatangan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Al-Masih al-Maw‘ûd dan Mahdi as. Sesudah itu adalah awal era baru Khilafat. Peristiwa ini terjadi pada 27 Mei 1908 ketika orang-orang yang beriman secara sepenuh hati mengadakan sumpah setia di tangan Hadhrat Maulana Nuruddin r.a., seorang keturunan dari Hadhrat Umar bin Khaththab ra. Kejayaan masa depan Islam kini terikat pada Khilafat Ahmadiyah.” (Kebangkitan Khilafat Islam, Luthfur Rahman Mahmud–USA, Makalah 27/8/2006, dimuat dalam situs resmi Ahmadiyah Indonesia).
Berdasarkan realitas tadi, sadar atau tidak, Ahmadiyah merupakan gerakan untuk membelokkan hakikat Khilafah Islamiyah sesuai dengan arah politik Inggris.
Dampak
Melihat ajaran dan aspek politik seperti di atas dapat dikatakan bahwa ada hal-hal berbahaya yang harus diwaspadai. Pertama: upaya untuk memutus mata rantai Islam dan sejarah umat Islam. Nabi dan rasulnya bukan Muhammad saw. melainkan Mirza Ghulam Ahmad. Kitabnya bukan al-Quran melainkan Tadzkirat. Pusat Islam yang pertama bukan Semenanjung Arabia melainkan India. Akibatnya, semua sejarah peradaban Islam diputus, karena titik awalnya dibelokkan ke India.
Kedua: adanya penyesatan politik terhadap umat Islam sehingga yang dipersalahkan adalah MUI hingga dituntut untuk dibubarkan.
Ketiga: mengaburkan dan menodai ajaran Islam itu sendiri. Siapapun yang menelaah akan menyimpulkan bahwa buku Tadzkirah benar-benar merupakan pembajakan dan mengolok-olok al-Quran (Amin Jamaluddin, Ahmadiyah dan Pembajakan al-Quran, LPII, 1992).
Keempat: membuat duri dalam daging kaum Muslim. Aliran Mirza Ghulam Ahmad ini telah menyatakan dirinya sebagai Organisasi bentukan Tuhan (Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah di Mata Orang Lain, hlm. 7), dan sebagai “illâ wâhidah” (hanya satu yang masuk surga) dari 73 pecahan umat Islam itu (Majalah bulanan Ahmadiyah, Sinar Islam, Jajasan Wisma Damai, no. 13 th. XV/1965, hlm. 34). Kedudukan ‘illâ wâhidah pada gerakan Ahmadiyah itu telah mendorong mereka untuk meng-”ahmadiyah”-kan kaum Muslim.
Kelima: adanya peran asing dengan isu HAM. Tidak heran bila yang bereaksi terhadap fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah adalah kalangan liberal, sekuler, organisasi HAM dan sebagian non-Muslim. Akibat pengaruh asing, pemerintah sejak awal bersikap: ’Pemerintah tidak setuju Ahmadiyah dibubarkan/ dilarang’.
Wahai Kaum Muslim:
Tindak kekerasan sekelompok umat Islam tentu semestinya tidak terjadi. Namun, tudingan bahwa penyebabnya adalah fatwa MUI jelas hanya mengada-ada, salah alamat, tanpa mengkaji secara mendalam mengapa aksi massa terjadi. Sesungguhnya aksi massa terjadi karena sikap Pemerintah yang tidak tegas.
Juga, umat Islam harus benar-benar mewaspadai dan tidak menerima begitu saja penjelasan 12 butir dari Ahmadiyah. []
KOMENTAR AL-ISLAM:
Pakem Imbau Masyarakat Pahami Itikad Baik Ahmadiyah (Detik.com, 15/1/2008).
Selama tak segera bertobat dan kembali pada pangkuan Islam berarti tak ada itikad baik.
0 comments:
Post a Comment