Syekh Taqiyuddin An-Nabhani
Politik dalam negeri Negara Islam adalah melaksanakan hukum-hukum Islam di dalam negeri. Negara Islam memberlakukan hukum-hukum Islam dalam negeri yang tunduk pada kekuasaannya. Maka dari itu, Negara Khilafah ini menerapkan sistem muamalah, penegakan hudud, penerapan sanksi-sanksi, pemeliharaan akhlak, mengisi penegakan dengan syiar dan ibadah, dan mengatur semua urusan umat menurut hukum-hukum Islam.
Islam telah menjelaskan bagaimana memberlakukan hukum-hukumnya terhadap manusia yang tunduk pada kekuasaannya. Sasaran hukum taklifnya meliputi seluruh warga daulah, baik yang beragama Islam maupun yang bukan. Dalam penerapannya, daulah mengikuti thariqah Islam (tata operasional) karena thariqah termasuk hukum syar'i, sebagaimana juga penyelesaian problem. Orang-orang yang kena khithab Islam (sasaran taklif nash) adalah semua manusia karena Allah memberi khithab ini untuk seluruh bangsa manusia. Khithab-Nya dengan sifat kemanusiaan (ketentuan-ketentuan hukumnya bersifat manusiawi), tidak dengan sifat yang lain. Allah berfirman: "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertaqwa" (QS. Al-Baqarah: 21). "Hai manusia, apa yang telah memperdayakanmu [berbuat durhaka] terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah" (QS. Al-Infithar: 6). Para ulama uhsul fiqih berpendapat bahwa khithab dengan hukum syara' berlaku pada setiap yang berakal dan memahami khithab itu, baik dia sebagai muslim atau non-muslim. Dalam kitab al-Mushthafa dalam bab ilmu uhsul, al-Ghazali berkata, "Sesungguhnya orang yang dikenai khithab adalah orang mukallaf. Syaratnya, dia harus orang yang berakal dan memahami khithab. Adapun orang yang ahli menetapkan hukum dalam masalah al-dzimmah, maka pengambilan faidahnya dari sisi kemanusiaan yang memang telah dipersiapkan untuk menerima kekuatan akal yang dengannya dapat memahami taklif."
Atas dasar ini, maka sasaran khithab Islam terhadap semua bangsa manusia adalah khithab dakwah dan khithab taklifi. Adapun khithab dakwah, maksudnya adalah mengajak manusia memeluk Islam. Sedangkan khithab taklifi maksudnya adalah memastikan manusia untuk mengamalkan Islam. Ini kaitannya dengan manusia secara umum. Sedangkan yang berhubungan dengan orang-orang yang diperintah Daulah Islam, maka Islam mengatagorikan mereka sebagai jama'ah yang dihukumi dengan kewajiban patuh pada sistem ini, sebagai bentuk perwujudan penyatuan manusia, dengan tanpa melihat sisi kelompok dan jenisnya. Dalam penerapannya tidak ada syarat kecuali mengikuti. Dengan demikian, dalam Daulah Islam tidak ditemukan kelompok-kelompok minoritas. Seluruh manusia dikatagorikan sebagai manusia saja. Mereka semua adalah rakyat Daulah Islam. Dan, selamanya mereka mengemban peran atau fungsi mengikut (tabi'iyah: tunduk, patuh, dan mengikuti aturan-aturan daulah). Setiap orang yang mengemban (melaksanakan) fungsi ini dapat menikmati hak-hak yang telah ditetapkan oleh syara', baik dia seorang muslim atau non-muslim. Sedangkan yang tidak mengembannya, maka dia diharamkan menikmati hak-hak ini, meski dia seorang muslim. Seandainya seorang anak laki-laki memiliki ibu nasrani yang patuh pada aturan Daulah Islam, sementara ayahnya yang muslim tidak mematuhinya, maka ibunya berhak memperoleh nafkah dari anaknya, sedangkan ayahnya tidak. Seandainya sang ibu menuntut nafkah pada anaknya, maka qadhi menjatuhkan hukum yang memihak kepada sang ibu dengan hak memperoleh nafkah karena dia mengemban fungsi mengikut (patuh pada aturan Daulah Islam). Jika ayahnya menuntut nafkah pada anaknya, maka qadhi tidak menjatuhkan keputusan hukum yang memihak kepadanya dan menolak dakwaannya karena dia tidak mengemban prediket atau fungsi mengikut. Jama'ah yang berhukum dengan Islam dikatagorikan sebagai rakyat. Penerimaan hukum Islam menjadikan fungsi tab'iyah sebagai legitimasi memperoleh hak-hak mereka di mana perolehan itu dapat memelihara urusan-urusan mereka dengan Islam dan menjadikan mereka hidup dalam Darul Islam.
Ini kaitannya dengan pandangan negara pada rakyat dari aspek hukum dan otoritas pemeliharaan berbagai urusan. Adapun aspek penerapannya, maka negara memformulasasikan hukum-hukum Islam dalam undang-undang negara, tidak pada sisi ruhani. Demikian itu karena Islam memandang bahwa sistem untuk diterapkan pada rakyat dan penerapannya dengan memperundangkan undang-undang, tidak dengan refleksi mistik keagamaan. Yakni, dengan memanifestasikan hukum-hukum syara', tidak dengan ungkapan religius-spiritual. Mengapa? Karena nash-nash lebih memperhatikan sisi pemberlakuan hukum syara'. Bukankah nash didatangkan untuk memecahkan problem? Pembuat syara' (Allah) memaksudkan syara' pada mengikuti makna, bukan berhenti pada nash-nash saja. Karena itu, pengambilan istinbat (penggalian dan perumusan) hukum harus memperhatikan sisi 'illatnya. Yakni, memperhatikan esensi nash-nash ketika mengambil istinbat. Dalam tasyri' Islam, ketika seorang khalifah memberi instruksi agar hukum-hukum Islam dijadikan undang-undang, maka hasil keputusan instruksi ini wajib diterapkan pada seluruh masyarakat. Dari sini ketundukan seluruh manusia pada Daulah Islam menyangkut hukum-hukum syara' adalah perkara pasti dan mutlak. Orang-orang yang meyakini Islam, kaum muslimin, maka kepemelukan dan kepercayaan mereka pada Islam itulah yang mengharuskan mereka menjalankan semua hukumnya. Karena, ketundukan yang menerima akidah Islam bermakna ketundukan pada semua hukum yang bersumber dari akidah. Akidah Islam mengharuskan para penganutnya mengikat kehidupan mereka dengan semua nilai (hukum-hukum) yang didatangkan akidah ini. Keharusannya tidak bisa ditawar dan pasti. Yang mengikat hubungan Islam dengan kaum muslimin adalah syari'at melalui tasyri'. Yakni, agama yang darinya melahirkan undang-undang. Mereka dipaksa menjalankan semua hukumnya, baik yang berkaitan dengan hubungan mereka dengan Allah, yakni ibadah, hubungan mereka dengan diri mereka, yakni akhlak-akhlak dan makanan-kamanan, atau yang berkaitan dengan selain mereka, yaitu muamalat dan sanksi-sanksi.
Kaum muslimin sepakat dalam akidah Islam. Mereka juga menyepakati Al-Kitab dan al-Sunnah sebagai dua sumber pokok dalil-dalil dan kaidah-kaidah syara' serta hukum-hukum syara'. Secara mutlak, tidak satupun di antara mereka yang berselisih dalam masalah ini. Akan tetapi, dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Nabi dengan hukum ijtihad, mereka berselisih. Akibat adanya perbedaan-perbedaan pemahaman, maka mereka berada dalam mazhab-mazhab yang berbeda-beda pula dan kelompok-kelompok yang bermacam-macam. Demikian itu, karena Islam mendorong kaum muslimin melakukan ijtihad untuk memperoleh istinbat (penggalian, penyimpulan, dan perumusan hukum). Karena adanya tabiat perbedaan pemahaman-pemahaman, maka dalam pemahaman pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan akidah dan bagaimana mengambil istinbat juga terjadi perbedaan di antara mereka. Demikian juga dalam hukum-hukum dan pendapat-pendapat yang disimpulkan. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan munculnya kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab.
Rasul telah mendorong kaum muslimin agar melakukan ijtihad. Beliau menjelaskan bahwa seorang hakim (mujtahid) jika berijtihad dan keliru, maka dia memperoleh satu pahala. Jika benar, maka dia memperoleh dua. Islam telah membuka pintu ijtihad. Maka tidak heran jika di tengah umat Islam banyak kelompok Islam, seperti Ahlus Sunnah, Syi'ah, Mu'tazilah, dan kelompok-kelompok lainnya. Juga tidak asing jika di sana timbul banyak mazhab Islam, seperti Syafi'iyah, Hanafiah, Malikiah, Hambaliah, Ja'fariah, Zaidiah, dan masih banyak yang lainnya. Semua kelompok dan mazhab Islam menganut akidah satu, yaitu akidah Islam. Mereka semua di-khithabi dengan keharusan mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Mereka juga diperintah mengikuti hukum syara' dan tidak terbatas hanya pada satu mazhab tertentu. Mazhab tidak lain hanyalah satu pemahaman tertentu tentang hukum syara' yang diikuti oleh orang-orang yang bukan golongan mujtahid, yaitu orang-orang yang tidak mampu berijtihad. Oleh sebab itu, orang muslim diperintah mengikuti hukum syara', bukan pada mazhab. Dia harus mengambil hukum ini dengan ijtihad jika mampu, dan beritba' atau bertaklid jika tidak mampu berijtihad. Atas dasar ini, semua kelompok dan mazhab yang meyakini akidah Islam dan mempercayai Kitabullah dan Sunnah sebagai sumber dalil-dalil, kaidah-kaidah, dan hukum-hukum syara', semuanya dikatagorikan muslim. Mereka semua dikatagorikan dan mengatagorikan sebagai muslim dan hukum-hukum Islam diberlakukan kepada mereka. Bagi daulah tidak boleh menghalang-halangi kelompok-kelompok Islam ini, juga tidak diperkenankan mengikuti mazhab-mazhab fiqih selama kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab itu tidak keluar dari akidah Islam. Jika kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab keluar dari akidah Islam, baik sebagai individu atau kelompok, maka semuanya dihukumi sebagai orang yang keluar dari Islam dan hukum murtad wajib dikenakan kepada mereka. Kaum muslimin dituntut dengan semua hukum Islam. Khusus untuk hukum-hukum yang qath'iy (kepastian hukumnya bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar), tidak ada peluang atau ruang bagi satu pikiran pun untuk mengeluarkan pendapat atau hasil ijtihad, seperti hukum potong tangan dalam pencurian, pengharaman riba, kewajiban zakat, shalat 5 waktu, dan hukum-hukum qath'iy lainnya.
Dengan demikian, semua hukum Islam harus diberlakukan pada seluruh kaum muslimin dalam pemahaman yang satu-utuh karena kedudukannya sebagai hukum yang qath'iy.
Ada pula hukum-hukum, pemikiran-pemikiran, dan pendapat-pendapat yang kaum muslimin berbeda dalam memahaminya. Setiap mujtahid berbeda pemahamannya dengan mujtahid yang lain, seperti tentang sifat-sifat khalifah, jumlah persen pungutan pajak tanah, sewa tanah, dan lain-lainnya. Jika terdapat hukum-hukum yang berbeda dengan hukum-hukum yang dibangun oleh khalifah, maka ketaatan terhadap hukum khalifah wajib dilakukan oleh kaum muslimin. Ketika itu setiap orang yang memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat yang didektretkan oleh seorang imam, maka dia wajib meninggalkan pendapatnya dan menjadikan pendapat imam sebagai pendadatnya. Karena, perintah imam menghapus perbedaan dan taat pada imam hukumnya wajib.
Kaum muslimin wajib melaksanakan semua perintah khalifah yang diwujudkan dalam hukum-hukum yang dibangunnya. Perintahnya berlaku secara zahir dan batin, dalam rahasia maupun terang-terangan. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan hukum syara' yang bukan hukum yang dibangun dan diperintahkan oleh imam dihukumi perbuatan dosa. Karena, perintah khalifah yang dikatagorikan sebagai hukum syara' yang ditetapkan sebagai kewajiban kaum muslimin hanya menyangkut hukum yang didekretkan oleh imam, dan apa yang selain dekret itu tidak dikatagorikan hukum syara'. Mengapa? Karena hukum syara' dalam masalah yang satu tidak dihitung dengan hak seorang saja. Seorang khalifah tidak [berhak] membangun nilai apapun dalam akidah karena bangunan ini akan menjadikan beban bagi kaum muslimin dalam berakidah. Hanya saja jika terdapat ahli bid'ah dan ada kecenderungan-kecenderungan terhadap akidah yang tidak benar, maka negara wajib mendidik dan memberi pelajaran mereka dengan sanksi-sanksi yang mengekang. Sanksi ini dijatuhkan jika akidah mereka kufur. Jika akidah mereka benar-benar kufur, maka mereka harus diperlakukan sebagai orang murtad. Demikian pula khalifah tidak berhak membangun hukum-hukum dalam masalah ibadah karena ketetapan hukumnya akan menciptakan kesulitan bagi kaum muslimin dalam beribadah. Karena itu, dalam masalah ibadah, khalifah tidak mengeluarkan dekret dengan hukum yang jelas kecuali tentang zakat, jihad, dan pembatasan dua hari raya. Aturan ini berlaku selama ibadah-ibadah ini adalah hukum-hukum syara'. Akan tetapi, di luar masalah itu, yaitu dalam bidang muamalah, khalifah berhak membangun hukum-hukum, seperti jual-beli, sewa-menyewa, perkawinan, perceraian, nafkah, syirkah, kerja-sama, dan lain-lainnya, juga dalam masalah sanksi, seperti hudud dan ta'zir, serta dalam hal makanan, pakaian, dan akhlak. Dalam hal ini kaum muslimin wajib menaati hukum-hukum yang ditetapkan khalifah.
Memang benar, seorang khalifah adalah subjek yang menjalankan hukum-hukum ibadah. Dia menjatuhkan sanki pada warganya yang meninggalkan shalat dan tidak berpuasa Ramadan. Khalifah juga yang menjalankan semua hukum ibadah sebagaimana juga menjalankan seluruh hukum lainnya. Pelaksanaan ini wajib bagi daulah karena kewajiban shalat bukanlah lahan ijtihad, juga tidak dikatagorikan sebagai hukum bentukan dalam ibadah. Khalifah hanyalah pelaksana hukum syara' yang diputuskan di tengah masyarakat dan membangun hukum untuk melaksanakan sanksi-sanski atas penerapan hukum manapun. Ini kaitannya dengan kaum muslimin. Adapun kaitannya dengan non-muslim yang menganut selain akidah Islam, maka mereka adalah (i) orang-orang yang mengaku bahwa mereka muslim dan meyakini akidah yang bertentangan dengan akidah Islam (ii) orang-orang dari Ahli Kitab (iii) orang-orang musyrik dan mereka adalah para penyembah berhala, penyembah bintang, kaum Majusi, pemeluk Hindu, dan semua penganut agama selain Ahlu Kitab.
Mereka semua ini, berikut apa yang menjadi perilaku akidah dan ibadah mereka dan dalam semua urusan perkawinan dan perceraian, dibiarkan berjalan mengikuti agama-agama mereka. Negara (Daulah Islam) hanya menentukan seorang qadhi dari dan bagi mereka yang akan mengawasi pertikaian-pertikaian mereka dan diselesaikan dalam mahkamah negara. Adapun masalah makanan dan minuman, mereka diperlakukan menurut kedudukan hukum-hukum agama mereka sendiri yang operasionalnya dijamin dalam sistem umum (yaitu sistem yang mencakup toleransi syari'at Islam). Selain Ahlu Kitab diperlakukan seperti perlakuan terhadap Ahlu Kitab. Nabi saw. bersabda tentang hak orang Majusi: "Perlakukan mereka dengan perlakukan hukum Ahlu Kitab." Sedangkan dalam muamalah dan sanksi-sanksi, penerapannya terhadap non-muslim disamakan dengan kaum muslimin. Mereka semua kedudukannya sama. Sanki yang dikenakan pada non-muslim juga sama dengan sanksi yang dikenakan pada kaum muslimin. Pelaksanaan dan pembatalan muamalah yang diberlakukan pada non-muslim kedudukannya juga sama dengan yang diberlakukan pada kaum muslimin. Semuanya di mata hukum Islam sama, tanpa ada perbedaan atau perlakukan khusus terhadap orang-orang tertentu. Karena, semua yang mengemban fungsi mengikut (tabi'iyah), meski agama, jenis bangsa, dan mazhab mereka berbeda, dikenai khithab dengan hukum-hukum syari'at Islam. Khithabnya menyangkut semua persoalan muamalah dan sanksi. Mereka juga diharuskan mengikuti dan menjalankan hukum-hukum tersebut. Hanya saja kewajiban mereka terhadap hal itu terbatas pada sisi pelaksanaan undang-undang, tidak dari sisi ruh keagamaan. Karena itulah, mereka tidak boleh dipaksa berakidah dengan akidah tertentu karena memang mereka tidak boleh dipaksa memeluk Islam. Allah berfirman: "Tidak ada paksaan untuk [memasuki] agama [Islam]" (QS. Al-Baqarah: 256). Rasulullah saw. juga dilarang mengancam Ahlu Kitab agar melepaskan agama mereka, akan tetapi mereka dipaksa untuk tunduk pada hukum-hukum Islam. Keharusan ketundukan ini dikarenakan posisi hukum Islam sebagai undang-undang negara yang harus dilaksanakan.
Kesimpulannya, Negara Islam dalam politik dalam negerinya melaksanakan hukum Islam yang dibebankan kepada semua warga negara yang mengemban fungsi mengikut (tab'iyah), baik mereka sebagai seorang muslim atau non-muslim. Bentuk pelaksanaannya sebagai berikut.
(1) Pelaksanaan semua hukum Islam dibebankan kepada kaum muslimin.
(2) Membiarkan masyarakat non-muslim mengikuti apa yang mereka yakini dan sembah.
(3) Memperlakukan masyarakat non-muslim dalam persoalan-persoalan makanan dan pakaian dengan mengikuti agama-agama mereka yang tercakup dalam sistem umum.
(4) Memutuskan persoalan-persoalan perkawinan dan perceraian di antara masyarakat non-muslim dengan mengikuti agama-agama mereka. Penanganannya dilakukan oleh qadhi yang dipilih di antara mereka dan diputuskan di Mahkamah Negara, tidak di mahkamah khusus. Persoalan-persoalan ini jika berhubungan dengan antara kaum muslimin dan non-muslim, maka pemutusannya mengikuti hukum-hukum Islam dan dijalankan oleh qadhi muslim.
(5) Negara melaksanakan semua syari'at Islam selain hukum-hukum di atas, seperti muamalah, sanksi-sanksi, sistem-sistem pemerintahan, hukum, ekonomi, dan lain-lainnya. Pelaksanaannya dibebankan pada semua warga negara. Dalam hal ini, baik yang muslim maupun non-muslim kedudukannya sama.
(6) Semua orang yang mengemban fungsi mengikut aturan Islam adalah rakyat negara. Negara wajib mengatur semua urusan mereka dengan adil, tanpa membedakan atau memberi pengecualian antara yang muslim dan yang non-muslim.
Pesan
Wednesday, November 21, 2007
Negara Islam:Politik Dalam Negeri Negara Islam(1)
Labels:
Nukilan Buku
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment